Running Text

Subhanallah Walhamdulillah Wa laa ilaha ilallah Wallahu Akbar...

Selasa, 08 Juli 2014

Berbakti Kepada Orang Tua (bag. 1)

Sumber : http://firanda.com/index.php/artikel/adab-akhlaq/73-berbakti-kepada-orang-tua 

berbakti pada ortuTidak diragukan lagi bahwasanya seorang muslim harus benar-benar memperhatikan hak-hak orang tua, karena Allah begitu memperhatikan hak-hak orang tua. Allah dalam banyak ayat telah mewasiatkan agar kita berbakti kepada kedua orang tua.

Asy-Syaukani berkata, “Allah telah menyebut perintah untuk berbuat baik kepada kedua orangtua setelah menyebutkan perintah untuk beribadah kepada-Nya karena mereka berdua adalah sebab yang dzohir akan adanya sang anak (di muka bumi ini), dan Allah menggandengkan perintah untuk berbuat baik kepada mereka berdua dengan perintah untuk bertauhid kepada-Nya sebagai peringatan akan besarnya hak mereka berdua yang telah diketahui bersama, demikian juga Allah dalam ayat yang lain telah menggandengkan perintah untuk bersyukur kepada-Nya dengan syukur kepada kedua orangtua sebagaimana dalam firmanNya
{أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ }
((Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tuamu))”[1]

Allah telah menggambarkan bagaimana beratnya seorang ibu dalam firmannya :


}وَوَصَّيْنَا الْأِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ{ (لقمان:14)

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Lukman 31:14)

}وَوَصَّيْنَا الْأِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْراً{ (الاحقاف:15)

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. (QS. Al Ahqoof 46:15)

Syaikh Abdulmuhsin Al-Qosim berkata , ((Ibumu (yang selama sembilan bulan) mengandungmu dalam keadaan lemah, dan semakin bertambah kelemahannya, dengan kesakitan yang selalu dialaminya, semakin engkau tumbuh maka semakin terasa berat yang dirasakannya dan semakin lemah tubuhnya. Kemudian tatkala akan melahirkanmu ia mempertaruhkan nyawanya dengan sakit yang luar biasa, ia melihat kematian dihadapannya namun ia tetap tegar demi engkau. Tatkala engkau lahir dan berada di sisinya maka hilanglah semua rasa sakit itu, ia memandangmu dengan penuh kasih sayang, ia meletakkan segala harapannya kepadamu.  Kemudian ia bersegera sibuk mengurusmu siang dan malam dengan sebaik-baiknya dipangkuannya, makananmu adalah susunya, rumahmu adalah pangkuannya, kendaraanmu adalah kedua tangannya. Ia rela untuk lapar demi mengenyangkanmu, ia rela untuk tidak tidur demi menidurkanmu, ia mendahulukan kesenanganmu di atas kesenangannya. Ia sangat sayang kepadamu, sangat mengasihimu.

Ingatlah bagaimana masa kecilmu…

Engkau menganggapnya adalah segalanya jika ia berada di sisimu, jika ia tidak berada di sisimu maka hanya ialah yang engkau panggil-panggil namanya, engkau tidak akan tenang dan berhenti dari tangismu hingga engkau melihatnya, jika mendapati hal yang engkau tidak sukai maka engkau segera melaporkan kepadanya dan meminta pertolongannya, engkau menganggap seluruh kebaikan berada padanya, dan engkau menyangka jika ia telah memelukmu di dadanya atau jika engkau tahu bahwa ia sedang mengawasimu maka tidak akan ada kejelekan yang bisa menimpamu.

Hatinya selalu sibuk memikirkanmu, ia menjadikan Robb-mu sebagai penjagamu dan pemeliharamu, ia merasakan bahwasanya engkau adalah belahan jiwanya, oleh karena itu seluruh harapannya ia letakkan kepadamu dan kehidupannya adalah demi keberhasilanmu.

Adapun ayahmu…ia bekerja dan berusaha dengan susah payah karenamu, ia mencegahmu dari kesulitan hidup sebisa mungkin, berulang-ulang ia pergi jauh demi menafkahimu, ia keluar di pagi hari dan kembali di petang hari demi engkau..

Demikianlah kedua orangtuamu menghadapi keletihan dan susah payah demi engkau, namun kecintaan mereka kepadamu telah tertanam di dalam hati mereka, mereka berusaha semampu mereka sekuat mereka untuk membahagiakanmu, engkaulah penyejuk mata mereka, engkaulah buah hati mereka, engkaulah harapan masa depan mereka. Mereka tidak tanggung-tanggung mengeluarkan uang yang telah susah payah mereka dapatkan untuk mengobatimu jika engkau sakit, dan mereka rela mengeluarkan harta mereka jika engkau yang meminta demi untuk menyenangkanmu, engkau hidup dan tumbuh di bawah naungan mereka dan bimbingan mereka..))[2]



Perintah Allah untuk berbakti kepada orangtua

Allah berfirman:
}وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيماً وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيراً{ (الاسراء:23-24)

Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "uf" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia[3]. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS. 17:23-24)

Tafsir firman Allah { وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا }
((Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu..))

Al-Munawi berkata, “Dan pengagungan (penghormatan) kepada kedua orangtua merupakan kelaziman dari pengagungan kepada Allah, oleh karena itu Allah menggandengkan perintah untuk berbuat baik kepada kedua orangtua dengan pengesaan Allah dan ibadah kepadaNya, maka barangsiapa yang tidak memanfaatkan (kesempatan ini) untuk berbuat baik kepada mereka berdua, terlebih lagi jika mereka berdua telah jompo, maka dia sangat layak dan pantas untuk dihinakan dan direndahkan”[4]

Firman Allah { وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً } ((berbuat baiklah pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya)), Berkata Syaikh Utsaimin, “Berbuat ihsan (kebaikan) kepada kedua orangtua bisa dengan perkataan, bisa dengan perbuatan, dan bisa dengan harta. Dengan perkataan misalnya ia berkata kepada mereka dengan perkataan mulia yang penuh lemah lembut…dengan perbuatan misalnya dengan membantu mereka dan mengerjakan perkara-perkara yang berkaitan dengan kemaslahatan mereka. Membantu dengan fisik seperti jika mereka berdua lemah maka ia membantu (membopong) mereka bahkan tatkala mereka hendak tidur atau hendak berdiri dan tatkala hendak duduk…dan dengan harta yaitu wajib bagi sang anak untuk berbuat baik kepada orangtua dengan mengorbankan hartanya yaitu dengan memberi mereka nafkah untuk seluruh yang mereka butuhkan, seperti pakaian, makanan, minuman, tempat tinggal jika ia mampu untuk melakukannya”[5]

Berkata Abul Barokat An-Nasafi, “Faedah dari firman Allah { عِنْدَكَ } adalah, jika mereka berdua akhirnya berada di sisi anak mereka berdua dan tidak ada yang memelihara atau menanggung mereka berdua selain anak mereka, yaitu mereka berdua tinggal di rumah sang anak atau di kamarnya, dan hal ini lebih berat bagi sang anak, maka ia diperintahkan untuk bersikap lembut kepada mereka berdua bahkan jangan sampai ia berkata kepada mereka berdua “Ah” jika ia tidak suka melihat sesuatu yang menjijikan dari mereka berdua apalagi hingga lebih daripada itu. Allah telah benar-benar dalam mewasiatkan kepada sang anak untuk memperhatikan mereka berdua, dimana Allah membuka wasiatnya dengan menggabungkan perintah untuk berbuat baik kepada keduanya dengan perintah untuk mentauhidkan-Nya kemudian Allah benar-benar menekankan perintah untuk memperhatikan dan memelihara mereka berdua sampai-sampai Allah tidak memberikan keringanan bagi sang anak untuk mengucapkan lafal/kalimat yang menunjukan kejengkelan padahal banyak perkara-perkara yang memotivasi kejengkelan, padahal dalam kondisi yang hampir seorang manusia tidak bisa menghadapinya” [6]

عن أبي هريرة قال قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم  رغم أنفه ثم رغم أنفه ثم رغم أنفه قيل من يا رسول الله قال من أدرك والديه عند الكبر أحدهما أو كليهما ثم لم يدخل الجنة

Dari Abu Hurairoh dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam bersabda ((Kehinaan baginya, kehinaan baginya, dan kehinaan baginya!!)), dikatakan (kepada beliau rshallallahu 'alihi wa sallam), “Bagi siapakah kehinaan itu wahai Rasulullah?”, Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata, ((Orang yang mendapati kedua orangtuanya dalam keadaan tua (jompo), salah satunya atau keduanya kemudian ia tidak masuk surga))[7]

Berkata Al-Munawi, “((Kehinaan baginya))”, yaitu ia didoakan kecelakaan baginya...dan disebutkan sifat jompo disini padahal melayani kedua orangtua hendaknya selalu dipelihara disetiap saat dikarenakan kebutuhan mereka berdua akan bakti dan pelayanan di saat jompo”[8]

عن كعب بن عجرة قال قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم  احضروا المنبر فحضرنا فلما ارتقى درجة قال آمين فلما ارتقى الدرجة الثانية قال آمين فلما ارتقى الدرجة الثالثة قال آمين فلما نزل قلنا يا رسول الله لقد سمعنا منك اليوم شيئا ما كنا نسمعه قال إن جبريل عليه الصلاة والسلام عرض لي فقال بعدا لمن أدرك رمضان فلم يغفر له قلت آمين فلما رقيت الثانية قال بعدا لمن ذكرت عنده فلم يصل عليك قلت آمين فلما رقيت الثالثة قال بعدا لمن أدرك أبواه الكبر عنده أو أحدهما فلم يدخلاه الجنة قلت آمين

Dari Ka’ab bi Ujroh ia berkata, “Nabi shallallahu 'alihi wa sallam bersabda ((Pergilah ke mimbar)), maka kamipun menuju ke mimbar. Tatkala Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam naik ke tingkat pertama mimbar ia berkata “Amin (kabulkanlah ya Allah)”, tatkala ia naik ke tingkat yang kedua ia berkata “Amin”, dan tatkala ia naik ke tingkat yang ketiga ia berkata “Amin”. Tatkala Nabi shallallahu 'alihi wa sallam turun dari mimbar kami bertanya kepadanya, “Wahai Rasulullah kami mendengar darimu pada hari ini sesuatu yang kami tidak pernah mendengarnya sebelumnya”. Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata, ((Jibril u telah mendatangiku dan berkata , “Semoga dijauhkan (dari rahmat Allah) orang yang menemui bulan Ramadhan kemudian ia tidak diampuni”, maka aku berkata, “Amin”. Tatkala aku menaiki tingkatan mimbar yang kedua ia berkata, “Semoga dijauhkan (dari rahmat Allah) orang yang engkau disebut dihadapannya kemudian ia tidak bersholawat kepadamu”, maka aku katakan “Amin”. Tatkala aku menaiki tingkatan mimbar yang ketiga ia berkata, “Semoga dijauhkan (dari rahmat Allah) orang yang mendapati kedua orangtuanya dalam keadaan jompo atau salah satu dari keduanya kemudian kedua orangtuanya tidak memasukannya ke dalam surga”, maka aku katakaa, “Amin”))[9]

Imam Al-Qurtubhi berkata, “Orang yang bahagia adalah orang yang menggunakan kesempatan emas ini untuk berbakti kepada kedua orangtuanya agar ia tidak luput dari (kesempatan emas ini yaitu masuk surga) dengan meninggalnya kedua orangtuanya. Dan orang yang celaka adalah orang yang durhaka kepada kedua orangtuanya, terlebih lagi orang yang telah diperintahkan untuk berbakti kepada kedua orangtuanya”[10]

Dari Humaid ia berkata, “Tatkala ibu Iyas bin Mu’awiyah meninggal maka Iyaspun menangis, maka dikatakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”, ia berkata, “Dulu aku punya dua pintu untuk masuk surga dan (sekarang) salah satunya telah ditutup””[11]



Tafsiran firman Allah { فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ } ((maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "uf"))


Yaitu janganlah kalian berkata kedua orangtua dengan perkataan kasar yang paling rendahpun. Dari Abu Roja’ Al-‘Athoridi ia berkata, الأف الكلام القذع الرديء الخفي “Al-Uff[12] yaitu perkataan yang rendah, jelek, dan samar (pelan)”. Berkata Mujahid (إذا رأيت منهما في حال الشيخ الغائط والبول الذي رأياه منك في الصغر فلا تقذرهما وتقول أف), “Jika engkau melihat dari kedua orangtua yang dalam keadaan jompo tai atau kencing yang mereka berduapun telah melihatnya dari engkau tatkala masih kecil, maka janganlah engkau merasa jijik dan berkata “Uf””[13]. Ia juga berkata, “Janganlah engkau mengatakan Uf tatkala engkau membersihkan (mencebok) kencing dan kotoran mereka berdua sebagaimana mereka berdua mencebokimu tatkala engkau masih kecil”[14]

Ad-Dailami meriwayatkan dari Al-Husain bin ‘Ali bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda,
لو علم الله عز وجل شيئا من العقوق أدنى من أف لحرمه فليعمل العاق ما شاء فلن يدخل الجنة وليعمل البار ما شاء أن يعمل فلن يدخل النار

((Kalau seandainya Allah mengetahui ada bentuk durhaka yang lebih rendah daripada perkataan “Uf” maka Allah akan mengharamkannya. Maka silahkan anak yang durhaka berbuat semaunya maka ia tidak bakalan masuk surga dan silahkan anak yang berbakti berubuat  semaunya ia tidak bakalan masuk neraka)) [15]

Jika kalimat yang sangat ringan untuk diucapkan (yaitu Uf) diharamkan bagi kita untuk mengucapkannya kepada orangtua bagaimana lagi yang lebih berat dari pada itu, bagaimana lagi jika sampai menyakiti orangtua secara fisik??, penyebutan pengharaman perkataan “Uf” sebagai peringatan bahwa yang lebih berat dari pada perkataan “Uf” tentunya lebih diharamkan lagi.[16]

Berkata Al-Quthubhi, “Ulama kami berkata bahwasanya perkataan “Uf” kepada kedua orangtua menjadi sesuatu yang paling jelek karena itu adalah sikap penolakan terhadap kedua orangtua yaitu seperti pengingkaran terhadap kenikmatan (yang telah diberikan oleh mereka berdua) dan mengingkari dan menolak wasiat yang telah diwasiatkan oleh Allah dalam Al-Qur’an”[17]

Urwah bin Az-Zubair menafsirkan firman Allah { فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ } ((dan janganlah engkau mengatakan kepada keduanya Uf)) dengan perkataannya لا تمنعهما شيئا أراداه أو أحباه “Engkau tidak melarang mereka berdua untuk melakukan sesuatu yang mereka berdua kehendaki” atau “yang mereka berdua sukai”[18] 

bersambung...

Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com

Catatan Kaki:
[1] Fathul Qodir 3/218

[2] Sebagaimana disadur dari ceramah beliau dari khutbah jum’at di masjid Nabawi (dengan sedikit tasorruf)

[3] Diantara ayat-ayat yang sangat jelas menunjukan bahwasanya ayat-ayat tersebut ditujukan kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam namun maksudnya adalah syari’at bagi umatnya adalah ayat ini. Karena Allah berfirman ((Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu)), padahal kedua orangtua Nabi shallallahu 'alihi wa sallam telah lama meninggal dunia sebelum turun ayat ini. Maka jelas bahwa ayat ini meskipun khitobnya (pembicaraannya) ditujukan kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam namun maksudnya adalah untuk umatnya. (Adhwa’ul bayan 3/83, 6/34, Tafsir Al-Qurthubhi 10/244). Dan khitob kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dalam Al-Qur’an ada tiga macam (Lihat Adhwaul bayan 8/209)

1.        Khitob yang ditujukan kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam namun maksudnya adalah untuk umatnya, dan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam sama sekali tidak masuk dalam hukum yang disebutkan dalam khitob tersebut sebagaimana dalam ayat ini.

2.        Khitob yang hukumnya hanyalah khusus untuk Nabi shallallahu 'alihi wa sallam sebagaimana firman Allah tentang wanita yang menghadiahkan dirinya kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam

}وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ { (الأحزاب:50)

dan perempuan mu'min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu'min. (QS. 33:50).

3.        Khitob yang hukumnya mencakup Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan umatnya, sebagaimana firman Allah

}يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ{ (التحريم:1)

Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 66:1)

Kemudian Allah berfirman

}قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ وَاللَّهُ مَوْلاكُمْ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ{ (التحريم:2)

Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kalian membebaskan diri dari sumpah kalian; dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. 66:2)

Allah menggunakan dhomir untuk jamak.

Demikian juga firman Allah

}يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ {(الطلاق: من الآية1)

Hai Nabi, apabila kalian menceraikan isteri-isterimu. (QS. 65:1), khitob ditujukan kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam namun Allah mengatakan ((apabila kalian menceraikan isteri-isterimu)) dengan dhomir jamak.

[4] Faidhul Qodiir 4/34

[5] Fatwa Ibnu Utsaimin jilid 7, Al-Washoya Al-‘Asyr, wasiat yang kedua

[6] Tafsir An-Nasafi 2/283

[7] HR Muslim 4/1978 no 2551  (باب رغم أنف من أدرك أبويه أو أحدهما عند الكبر فلم يدخل الجنة ), berkata Ibnu Mandzur (أرغم الله أنفه), yaitu semoga Allah menempelkan hidungnya dengan Ar-Rigom yaitu tanah. Ini adalah makna asalnya kemudian digunakan untuk mengungkapkan kehinaan…” (Lisanul ‘Arob 12/246). Dikatakan juga bahwa Ar-Rogm adalah semua yang menimpa hidung yang mengganggu hidung (Al-Minhaj 16/109)

[8] Faidhul Qodiir 4/34

[9] HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrok 4/170 no 7256, Ibnu Khuzaimah 3/192 no 1888, Dishaihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahih at-Targhib wa At-Tarhib no 995, 1677 dan Adabul Mufrod no 644

[10] Tafsir Al-Qurtubhi 10/242

[11] Kitabul bir was silah hal 68 karya Ibnul jauzi sebagaimana dinukil oleh Abdurrahman bin abdilwahhab Alibabtain dalam risalahnya birul walidain hal 34

[12] Berkata Abu ‘Amr bin Al-‘Ala’, “Al-Uf adalah kotoran kuku, adapun At-Tuf adalah kuku-kuku yang telah terpotong”. Az-Zajjaj berkata, “Al-Uf adalah kotoran yang bau”. Berkata Al-Ashma’i. “Al-Uf adalah kotoran telinga, adapu At-Tuf adalah kotoran kuku, lalu banyak digunakan (dalam ungkapan-ungkapan) hingga digunakan untuk mengungkapkan semua perkara yang tidak disukai” (At-Tafsir Al-Kabir 20/151). Uf adalah sebuah perkataan yang digunakan untuk semua perkara yang ditolak, oleh karena itu Nabi shallallahu 'alihi wa sallam Ibrahim berkata kepada kaumnya

}أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَفَلا تَعْقِلُونَ{ (الانبياء:67)

Uf bagi kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami (QS. 21:67)

Yaitu, “Penolakan” bagi kalian dan juga patung-patung kalian. (Tafsir Al-Qurthubhi 10/243).

[13] Tafsir Al-Qurtubhi 10/242

[14] Tafsir Al-Bagowi 3/10

[15] Al-Firdaus bi ma’tsuril khitob 3/353 no 5063

[16] Penafian sesuatu yang lebih rendah dalam rangka untuk menafikan sesuatu yang di atasnya adalah lebih mengena daripada langsung menafikan sesuatu yang di atas tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah

}قَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِهِ إِنَّا لَنَرَاكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ قَالَ يَا قَوْمِ لَيْسَ بِي ضَلالةٌ وَلَكِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ{ (لأعراف: 61-61)

Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata:"Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata". Nuh menjawab:"Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikitpun tetapi aku adalah utusan dari Rabb semesta alam"" (QS. 7: 60-61).

Nabi Nuh alaihissalam tidaklah berkata {لَيْسَ بِي ضَلال} setelah perkataan kaumnya { إِنَّا لَنَرَاكَ فِي ضَلالٍ } namun ia berkata { لَيْسَ بِي ضَلالةٌ } karena lafal ضَلالةٌ lebih rendah dan lebih sedikit disbanding lafal ضَلال , lafal ضَلالةٌ hanyalah digunakan untuk satu kesesatan adapun lafal ضَلال digunakan untuk kesesatan yang sedikit maupun banyak.

Demikian juga pada firman Allah

}مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَاراً فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لا يُبْصِرُونَ{ (البقرة:17)

Perumpamaan mereka (orang-orang munafik) adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. (QS. 2:17)

Allah tidaklah mengatakan ((ذَهَبَ اللهُ بِضَوْئِهِم)) setelah firmanNya {أَضَاءَتْ}, tetapi Allah berfirman {ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ } karena Ad-Dhou’ hanyalah digunakan untuk cahaya yang banyak (sinar) adapun nur bisa digunakan untuk cahaya yang banyak maupun yang sedikit. Oleh karena itu Allah berfirman

}هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُوراً { (يونس:5)

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya (QS. 10:5)

Padahal maksud Allah adalah menghilangkan seluruh sinar semuanya (menghilangkan dhou’ yang tadinya telah meliputi mereka), oleh karena itu Allah berfirman di akhir ayat { وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لا يُبْصِرُونَ } ((dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.)) (Al-Burhan fi ‘ulumil Qur’an 3/402-404)

Jika ada yang berkata, “Bukankah tatkala Allah melarang seseorang mengatakan Uf kepada kedua orangtua berarti secara otomatis melarang juga untuk membentak mereka berdua, namun mengapa Allah setelah melarang mengatakan Uf Allah berfirman { وَلا تَنْهَرْهُمَا} ((Dan janganlah membentak mereka berdua))??

Jawabannya memang ada kaidah:

((Jika penetapan sesuatu menununjukan atas penetapan sesuatu yang lain maka lebih, maka dengan penetapan atas sesuatu tersebut mencukupkan tanpa harus menyebutkan penetapan sesuatu yang lain (karena telah terwakilkan) sebagaimana firman Allah

}وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ{ (آل عمران:133)

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (QS. 3:133)

}سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ{ (الحديد:21)

Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Rabbmu dan surga yang leeebarnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. 57:21)

Allah tidak menyebutkan tentang panjang surga namun Allah hanya menyebutkan tentang lebar surga karena penjelasan akan tentang lebarnya yang seperti langit dan bumi maka tentunya menunjukan bahwa panjang surga terlebih lagi.

Demikian juga penafian jika penafian sesuatu telah mewakili penafian sesuatu yang lain maka mencukupkan dengan penafian sesuatu tersebut tanpa menyebutkan penafian sesuatu yang lain adalah lebih baik))

Namun kaidah ini terkadang tidak dilaksanakan dikarenakan ada tujuan yang lain, contohnya seperti firman Allah

}اللَّهُ لا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلا نَوْمٌ{ (البقرة:255)

Allah tidak ada ilah melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. (QS. 2:255)

Allah tidak mencukupkan dengan firmanNya { لا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ } ((tidak mengantuk)) namun Allah juga mengatakan { وَلا نَوْمٌ} ((dan tidak tidur)) meskipun telah dipahami bahwasanya ngantuk adalah pembuka tidur, jika ngantuk dinafikan maka otomatis tidur juga ternafikan. Namun dalam ayat ini Allah menafikan tidur dari DiriNya karena dalam rangka membantah persangkaan yang mungkin timbul bahwa sifat ngantuk tidak bisa menimpa Allah adalah karena lemahnya sifat tersebut adapun tidur ia merupakan sifat yang kuat yang mungkin saja bisa menimpa Allah.

Demikian juga firman Allah

}فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا { (الاسراء:23)

maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka (QS 17:23).

Allah tidak mencukupkan menyebut larangan untuk mengucapkan Uf saja namun Allah juga menyebutkan larangan untuk membentak kedua orangtua, hal ini dikarenakan pentingnya larangan untuk mengucapkan Uf dan agar diperhatikan larangan tersebut hingga seakan-akan Allah telah melarang untuk mengucapkan perkataan yang kasar (bentakan) dua kali, yang pertama dengan mafhum dan yang kedua dengan mantuq. (Al-Burhan ri Ulumil Qur’an 3/403-404)

[17] Tafsir Al-Qurtubhi 10/243

[18] Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam musonnafnya 5/219 no 25412

http://firanda.com/index.php/artikel/adab-akhlaq/73-berbakti-kepada-orang-tua

"Kisah Istri Sholehah…" (Berhak Untuk Dibaca…!!)


Sumber :
http://firanda.com/index.php/artikel/keluarga/527-kisah-istri-sholehah-berhak-untuk-dibaca








Seorang istri menceritakan kisah suaminya pada tahun 1415 H, ia berkata :

Suamiku adalah seorang pemuda yang gagah, semangat, rajin, tampan, berakhlak mulia, taat beragama, dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Ia menikahiku pada tahun 1390 H. Aku tinggal bersamanya (di kota Riyadh) di rumah ayahnya sebagaimana tradisi keluarga-keluarga Arab Saudi. Aku takjub dan kagum dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Aku bersyukur dan memuji Allah yang telah menganugerahkan kepadaku suamiku ini. Kamipun dikaruniai seorang putri setelah setahun pernikahan kami.

Lalu suamiku pindah kerjaan di daerah timur Arab Saudi. Sehingga ia berangkat kerja selama seminggu (di tempat kerjanya) dan pulang tinggal bersama kami seminggu. Hingga akhirnya setelah 3 tahun, dan putriku telah berusia 4 tahun… Pada suatu hari yaitu tanggal 9 Ramadhan tahun 1395 H tatkala ia dalam perjalanan dari kota kerjanya menuju rumah kami di Riyadh ia mengalami kecelakaan, mobilnya terbalik. Akibatnya ia dimasukkan ke Rumah Sakit, ia dalam keadaan koma. Setelah itu para dokter spesialis mengabarkan kepada kami bahwasanya ia mengalami kelumpuhan otak. 95 persen organ otaknya telah rusak. Kejadian ini sangatlah menyedihkan kami, terlebih lagi kedua orang tuanya lanjut usia. Dan semakin menambah kesedihanku adalah pertanyaan putri kami (Asmaa') tentang ayahnya yang sangat ia rindukan kedatangannya. Ayahnya telah berjanji membelikan mainan yang disenanginya…
Kami senantiasa bergantian menjenguknya di Rumah Sakit, dan ia tetap dalam kondisinya, tidak ada perubahan sama sekali. Setelah lima tahun berlalu, sebagian orang menyarankan kepadaku agar aku cerai darinya melalui pengadilan, karena suamiku telah mati otaknya, dan tidak bisa diharapkan lagi kesembuhannya. Yang berfatwa demikian sebagian syaikh -aku tidak ingat lagi nama mereka- yaitu bolehnya aku cerai dari suamiku jika memang benar otaknya telah mati. Akan tetapi aku menolaknya, benar-benar aku menolak anjuran tersebut.

Aku tidak akan cerai darinya selama ia masih ada di atas muka bumi ini. Ia dikuburkan sebagaimana mayat-mayat yang lain atau mereka membiarkannya tetap menjadi suamiku hingga Allah melakukan apa yang Allah kehendaki.

Akupun memfokuskan konsentrasiku untuk mentarbiyah putri kecilku. Aku memasukannya ke sekolah tahfiz al-Quran hingga akhirnya iapun menghafal al-Qur'an padahal umurnya kurang dari 10 tahun. Dan aku telah mengabarkannya tentang kondisi ayahnya yang sesungguhnya. Putriku terkadang menangis tatkala mengingat ayahnya, dan terkadang hanya diam membisu.

Putriku adalah seorang yang taat beragama, ia senantiasa sholat pada waktunya, ia sholat di penghujung malam padahal sejak umurnya belum 7 tahun. Aku memuji Allah yang telah memberi taufiq kepadaku dalam mentarbiyah putriku, demikian juga neneknya yang sangat sayang dan dekat dengannya, demikian juga kakeknya rahimahullah.

Putriku pergi bersamaku untuk menjenguk ayahnya, ia meruqyah ayahnya, dan juga bersedekah untuk kesembuhan ayahnya.
Pada suatu hari di tahun 1410 H, putriku berkata kepadaku : Ummi biarkanlah aku malam ini tidur bersama ayahku...
Setelah keraguan menyelimutiku akhirnya akupun mengizinkannya.

Putriku bercerita :

Aku duduk di samping ayah, aku membaca surat Al-Baqoroh hingga selesai. Lalu rasa kantukpun menguasaiku, akupun tertidur. Aku mendapati seakan-akan ada ketenangan dalam hatiku, akupun bangun dari tidurku lalu aku berwudhu dan sholat –sesuai yang Allah tetapkan untukku-.

Lalu sekali lagi akupun dikuasai oleh rasa kantuk, sedangkan aku masih di tempat sholatku. Seakan-akan ada seseorang yang berkata kepadaku, "Bangunlah…!!, bagaimana engkau tidur sementara Ar-Rohmaan (Allah) terjaga??, bagaimana engkau tidur sementara ini adalah waktu dikabulkannya doa, Allah tidak akan menolak doa seorang hamba di waktu ini??"

Akupun bangun…seakan-akan aku mengingat sesuatu yang terlupakan…lalu akupun mengangkat kedua tanganku (untuk berdoa), dan aku memandangi ayahku –sementara kedua mataku berlinang air mata-. Aku berkata dalam do'aku, "Yaa Robku, Yaa Hayyu (Yang Maha Hidup)…Yaa 'Adziim (Yang Maha Agung).., Yaa Jabbaar (Yang Maha Kuasa)…, Yaa Kabiir (Yang Maha Besar)…, Yaa Mut'aal (Yang Maha Tinggi)…, Yaa Rohmaan (Yang Maha Pengasih)…, Yaa Rohiim (Yang Maha Penyayang)…, ini adalah ayahku, seorang hamba dari hamba-hambaMu, ia telah ditimpa penderitaan dan kami telah bersabar, kami Memuji Engkau…, kemi beriman dengan keputusan dan ketetapanMu baginya…

Ya Allah…, sesungguhnya ia berada dibawah kehendakMu dan kasih sayangMu.., Wahai Engkau yang telah menyembuhkan nabi Ayyub dari penderitaannya, dan telah mengembalikan nabi Musa kepada ibunya…Yang telah menyelamatkan Nabi Yuunus dari perut ikan paus, Engkau Yang telah menjadikan api menjadi dingin dan keselamatan bagi Nabi Ibrahim…sembuhkanlah ayahku dari penderitaannya…

Ya Allah…sesungguhnya mereka telah menyangka bahwasanya ia tidak mungkin lagi sembuh…Ya Allah milikMu-lah kekuasaan dan keagungan, sayangilah ayahku, angkatlah penderitaannya…"

Lalu rasa kantukpun menguasaiku, hingga akupun tertidur sebelum subuh.

Tiba-tiba ada suara lirih menyeru.., "Siapa engkau?, apa yang kau lakukan di sini?". Akupun bangun karena suara tersebut, lalu aku menengok ke kanan dan ke kiri, namun aku tidak melihat seorangpun. Lalu aku kembali lagi melihat ke kanan dan ke kiri…, ternyata yang bersuara tersebut adalah ayahku…

Maka akupun tak kuasa menahan diriku, lalu akupun bangun dan memeluknya karena gembira dan bahagia…, sementara ayahku berusaha menjauhkan aku darinya dan beristighfar. Ia barkata, "Ittaqillah…(Takutlah engkau kepada Allah….), engkau tidak halal bagiku…!". Maka aku berkata kepadanya, "Aku ini putrimu Asmaa'". Maka ayahkupun terdiam. Lalu akupun keluar untuk segera mengabarkan para dokter. Merekapun segera datang, tatkala mereka melihat apa yang terjadi merekapun keheranan.

Salah seorang dokter Amerika berkata –dengan bahasa Arab yang tidak fasih- : "Subhaanallahu…". Dokter yang lain dari Mesir berkata, "Maha suci Allah Yang telah menghidupkan kembali tulang belulang yang telah kering…". Sementara ayahku tidak mengetahui apa yang telah terjadi, hingga akhirnya kami mengabarkan kepadanya. Iapun menangis…dan berkata, اللهُ خُيْرًا حًافِظًا وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِيْنَ Sungguh Allah adalah Penjaga Yang terbaik, dan Dialah yang Melindungi orang-orang sholeh…, demi Allah tidak ada yang kuingat sebelum kecelakaan kecuali sebelum terjadinya kecelakaan aku berniat untuk berhenti melaksanakan sholat dhuha, aku tidak tahu apakah aku jadi mengerjakan sholat duha atau tidak..??

          Sang istri berkata : Maka suamiku Abu Asmaa' akhirnya kembali lagi bagi kami sebagaimana biasnya yang aku mengenalinya, sementara usianya hampir 46 tahun. Lalu setelah itu kamipun dianugerahi seorang putra, Alhamdulillah sekarang umurnya sudah mulai masuk tahun kedua. Maha suci Allah Yang telah mengembalikan suamiku setelah 15 tahun…, Yang telah menjaga putrinya…, Yang telah memberi taufiq kepadaku dan menganugerahkan keikhlasan bagiku hingga bisa menjadi istri yang baik bagi suamiku…meskipun ia dalam keadaan koma…

Maka janganlah sekali-kali kalian meninggalkan do'a…, sesungguhnya tidak ada yang menolak qodoo' kecuali do'a…barang siapa yang menjaga syari'at Allah maka Allah akan menjaganya.

Jangan lupa juga untuk berbakti kepada kedua orang tua… dan hendaknya kita ingat bahwasanya di tangan Allah lah pengaturan segala sesuatu…di tanganNya lah segala taqdir, tidak ada seorangpun selainNya yang ikut mengatur…

Ini adalah kisahku sebagai 'ibroh (pelajaran), semoga Allah menjadikan kisah ini bermanfaat bagi orang-orang yang merasa bahwa seluruh jalan telah tertutup, dan penderitaan telah menyelimutinya, sebab-sebab dan pintu-pintu keselamatan telah tertutup…

Maka ketuklah pintu langit dengan do'a, dan yakinlah dengan pengabulan Allah….
Demikianlah….Alhamdulillahi Robbil 'Aaalamiin (SELESAI…)

          Janganlah pernah putus asa…jika Tuhanmu adalah Allah…
          Cukup ketuklah pintunya dengan doamu yang tulus…
          Hiaslah do'amu dengan berhusnudzon kepada Allah Yang Maha Suci
          Lalu yakinlah dengan pertolongan yang dekat dariNya…

(sumber : http://www.muslm.org/vb/archive/index.php/t-416953.html , Diterjemahkan oleh Firanda Andirja)

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 19-11-1434 H / 25 September 2013 M
www.firanda.com

http://firanda.com/index.php/artikel/keluarga/527-kisah-istri-sholehah-berhak-untuk-dibaca

Buah Berbakti Kepada Ayah


Sumber :
http://firanda.com/index.php/artikel/adab-akhlaq/616-buah-berbakti-kepada-ayah






Sahabat dekatku (seorang polisi di kota Madinah) bercerita kepadaku kemarin malam di masjid Nabawi setelah isya, tanggal 19 Desember 2013):

"Pamanku, kakak ayahku adalah seorang yang sangat berbakti kepada ayahnya. Pada suatu hari –seperti kebiasaannya- ia menyiapkan sendal/sepatu dan memakaikan sendal ke kedua kaki ayahnya. Namun pada saat itu, ada sesuatu hal yang lain yang tidak biasa dilakukan oleh pamanku. Tatkala ia memakaikan kedua sendal/sepatu ke kedua kaki ayahnya, pamanku terus memandang wajah ayahnya sambil memakaikan kedua sendalnya. Maka sang ayahpun tertegun, dan berkata bahkan menghardiknya, "Kenapa engkau memandangku terus?". Maka pamanku –yang tatkala itu masih muda belia dan belum menikah- berkata : "Wahai ayahanda, aku ingin puas memenuhi kedua mataku dengan memandang wajahmu…"

Mendengar jawaban pamanku maka sang ayah langsung sujud syukur seketika itu juga lalu mendoakan agar Allah memberkahi pamanku, memberkahi hartanya, dan anak keturunannya.

Sekarang pamanku masih hidup, sedangkan ayahku sudah meninggal, padahal pamanku lebih tua dari ayahku. Pamanku setelah itu menikahi 4 orang wanita, dan dianugrahi 29 anak laki-laki, anak perempuan entah berapa. Dan rizkinya dilapangkan oleh Allah ta'ala.

Jika pamanku membeli makanan di kios, selalu ia membeli sayuran berkarton-karton, membeli roti berdos-dos, membeli sesuatu dalam jumlah yang banyak. Sehingga pemilik kios kaget melihat pamanku, seakan-akan ia mau menyiapkan makanan untuk orang sekampung?!. Ini semua karena pamanku adalah keluarga yang sangat besaaar…!

Anak lelaki yang paling kecil seumuran denganku (yaitu sekitar 45 tahunan). Yang menakjubkan, seluruh anak-anaknya berbakti kepada pamanku".

Demikianlah tuturan sahabatku, mengingatkan kepada kita bahwa berbakti bukan hanya kepada ibu, ayahpun memiliki hak yang besar untuk kita berbakti. Semoga Allah menjadikan kita anak-anak yang berbakti, dan menjadikan anak-anak kita kelak juga berbakti kepada kita.

http://firanda.com/index.php/artikel/adab-akhlaq/616-buah-berbakti-kepada-ayah

Sabtu, 05 Juli 2014

Bahaya dan Petaka Kesyirikan


Sumber : http://dzulqarnain.net/bahaya-dan-petaka-kesyirikan.html

Pada suatu hari, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Dosa apakah yang paling besar?” Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab,
أَنْ تَجْعَلَ للهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ
“Engkau mengadakan tandingan untuk Allah, padahal Allah yang telah menciptakanmu.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari hadits Abdullah bin Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu]
Itulah kesyirikan yang merupakan dosa terbesar. Namun, yang menjadi musibah pada masa ini adalah bahwa banyak kaum muslimin meremehkan dosa itu, bahkan terjatuh ke dalam dosa tersebut.
Bila seseorang mendapatkan kepastian akan datangnya gelombang tsunami, letusan gunung berapi, gempa bumi, banjir bandang, longsor, dan selainnya, padanya akan terlihat ketakutan yang luar biasa dan berbagai persiapan untuk menyelamatkan diri, keluarga, dan harta benda. Namun, tiada yang menyangka bahwa, ternyata, di antara mereka, banyak yang mengundang datangnya petaka dan kehancuran dengan berbagai praktik kesyirikan yang mereka lakukan. Perhatikanlah ancaman kehancuran alam semesta dengan adanya kesyirikan dalam uraian firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا. لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا. تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا. أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا. وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا
“Dan mereka berkata, ‘Ar-Rahmân (Allah Yang Maha Pemurah) mengambil (mempunyai) anak.’[1] Sesungguhnya kalian telah mendatangkan suatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah, karena ucapan itu, serta bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, sebab mereka menyerukan bahwa Ar-Rahmân mempunyai anak. Padahal, Ar-Rahmân tidaklah layak mengambil (mempunyai) anak.” [Maryam: 88-92]
Juga perhatikanlah bagaimana kehancuran pelaku kesyirikan dalam firman Allah,
وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ
“Barangsiapa yang berbuat kesyirikan terhadap Allah, ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan oleh angin ke tempat yang jauh.” [Al-Hajj: 31]
Kalau Nabi Ibrahim ‘alaihis salâm, yang merupakan panutan orang-orang yang bertauhid, mengkhawatirkan kesyirikan terhadap diri dan keturunannya, sebagaimana dalam untaian doa beliau yang disebut dalam firman-Nya,
وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ. رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ
“… Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku terhadap menyembah berhala-berhala. Wahai Rabb-ku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan manusia.” [Ibrahîm: 35-36]
Bila Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam sangat mengkhawatirkan kesyirikan tersebut terhadap para shahabat beliau yang mulia, sebagaimana dalam sabdanya yang agung,
إِنَّ أَخوْفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الَأَصْغَرُ قَالُوْا وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ الرِّيَاءُ
“Sungguh hal yang paling aku khawatirkan terhadap kalian adalah syirik ashghar. (Para shahabat) bertanya, ‘Apa syirik ashghar itu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Riyâ`.’.” [Diriwayatkan oleh Ahmad dan selainnya. Sanadnya jayyid sebagaimana perkataan Al-Mundziry]
Ternyata, pada masa ini, kita melihat bahwa sejumlah kaum muslimin sangat tenang dengan melempar sesajian ke gunung Merapi, merasa nikmat dengan sembelihan untuk kuburan dan tempat-tempat yang dikeramatkan, serta terbuai nyaman dengan berbagai ritual di tepi lautan, bahkan sebagian kaum muslimin rela mengambil kotoran dari seekor kerbau, yang bergelar ‘Kyai Slamet’, sebagai berkah dan kebaikan. Tentunya, kamus kesyirikan seperti ini akan terbit dalam jilid tebal bila dikumpulkan dari Sabang hingga Merauke.
Kalau Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, pada akhir hayatnya, memperingatkan umatnya agar tidak berlebihan terhadap dirinya sebagaimana dalam sabda beliau yang mulia,
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashara. Mereka menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ]
Sangatlah menyedihkan: kita menyaksikan orang-orang yang mengajak manusia untuk mengultuskan diri-diri mereka dan mengambil berkah dari mereka lantaran keistimewaan yang dia sangka atau garis keturunan yang dia sandang.
Kesyirikan adalah menyetarakan antara selain Allah dan Allah pada hal-hal yang merupakan kekhususan Allah, baik dalam rubûbiyyah Allah (penciptaan, kekuasaan, dan pengaturan-Nya), ulûhiyyah (peribadahan kepada-Nya) maupun nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Allah Ta’âlâ menyebut ucapan penduduk neraka dalam firman-Nya,
تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ. إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“Demi Allah, sungguh dahulu (di dunia) kami berada dalam kesesatan yang nyata karena kami menyamakan kalian dengan Rabb alam semesta.” [Asy-Syu’arâ`: 97-98]
Ibnul Qayyim rahimahullâh menyebutkan, “(Kaum musyrikin) mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya yang menciptakan segala sesuatu, Rabb dan Penguasa sesuatu itu, serta (mengakui) bahwa sembahan-sembahan mereka tidaklah mencipta, tidak dapat memberi rezeki, tidak pula dapat menghidupkan dan mematikan. Jadi, penyetaraan tersebut hanyalah pada kecintaan, pengagungan dan ibadah sebagaimana keadaan kebanyakan kaum musyrikin di seluruh alam. Bahkan, mereka semua mencintai dan mengagungkan sembahan-sembahan mereka serta memberi loyalitas mereka kepada (sembahan) tersebut selain Allah. Banyak di antara mereka, bahkan kebanyakan di antara mereka, mencintai sembahan-sembahan mereka melebihi kecintaannya kepada Allah.” [Madârijus Sâlikîn 1/373]
Juga, Allah menerangkan,
ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ
“Namun, orang-orang yang kafir membuat tandingan untuk Rabb mereka.” [Al-An’âm: 1]
Syaikhul Islam rahimahullâh berkata, “Pokok kesyirikan adalah engkau menyetarakan/menyamakan Allah dengan makhluk-makhluk-Nya pada sebagian hal yang hanya Allah semata yang berhak akan hal itu.” [Al-Istiqâmah 1/344]
Untuk lebih memperjelas tentang petaka kesyirikan terhadap individu, masyarakat, dan negeri, berikut beberapa bahaya kesyirikan selain dari hal-hal yang telah disebutkan di atas.
Pertama: kesyirikan adalah perusak dan penghancur amalan.
Allah Jalla Jalâluhu berfirman kepada Nabi-Nya,
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ. بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ
“Dan sesungguhnya, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu, ‘Jika engkau berbuat kesyirikan, niscaya akan terhapuslah seluruh amalanmu dan tentulah engkau termasuk orang-orang yang merugi.’ Oleh karena itu, hendaklah kepada Allah saja engkau menyembah dan hendaklah engkau termasuk orang-orang yang bersyukur.” [Az-Zumar: 65-66]
Kedua: pelaku syirik akbar adalah kekal di dalam neraka.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, pasti Allah mengharamkan surga kepadanya, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada seorang penolong pun bagi orang-orang zhalim itu.” [Al-Mâ`idah: 72]
Ketiga: kesyirikan adalah dosa yang tidak diampuni. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi Dia mengampuni segala dosa yang selain (syirik) itu bagi siapa saja yang Dia kehendaki.” [An-Nisâ`: 48, 116]
Keempat: amalan pelaku kesyirikan, walaupun sangat banyak dan menggunung, pada hari kiamat tidaklah dianggap sama sekali bila bercampur dengan noda kesyirikan. Allah Jallah Sya`nuhu menegaskan,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan Kami menghadapi segala amalan yang mereka kerjakan, lalu Kami menjadikan amalan itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” [Al-Furqân: 23]
Kelima: syirik adalah dosa yang paling besar, kekejian yang paling keji, kemungkaran yang paling mungkar, dan kezhaliman yang paling zhalim. Allah ‘Azzat ‘Azhamatuhu berfirman,
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqmân berkata kepada anaknya sewaktu memberi pelajaran kepada (anak)nya, ‘Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan (Allah). Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.’.” [Luqmân: 13]
Keenam: kesyirikan adalah sebab munculnya rasa takut dan hilangnya keamanan pada manusia, masyarakat, bangsa, dan negara. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezhaliman (kesyirikan), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat hidayah.” [Al-An’âm: 82]
Ketujuh: kesyirikan adalah sebab kebinasaan terbesar. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اجْتَنِبُوْا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا هُنَّ ؟ قَالَ الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَأَكْلُ الرِّبَا وَالتَوَلِّيْ يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ
“Hindarilah tujuh yang membinasakan.” Ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasululläh, apa (tujuh hal) itu?” Beliau menjawab, “(1) Berbuat kesyirikan terhadap Allah, (2) melakukan sihir, (3) membunuh jiwa yang Allah haramkan, kecuali dengan haq, (4) memakan harta anak yatim, (5) memakan riba, (6) lari pada hari perjumpaan dengan musuh, dan (7) menuduh perempuan mukminah, yang menjaga diri lagi tidak kenal maksiat, dengan perbuatan zina.”.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu]
Kedelapan: kesyirikan adalah najis maknawi yang paling najis. Allah Jalla wa ‘Alâ berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” [At-Taubah: 28]
Kesembilan: kesyirikan adalah sebab terangkatnya kemuliaan, kejayaan, dan pertolongan Allah dari umat Islam. Allah Al-‘Azîz Al-Hakîm berfirman,
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman, di antara kalian, dan beramal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan berkuasa orang-orang yang sebelum mereka, sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada berbuat kesyirikan sesuatu apapun terhadap-Ku. Namun, barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang fasik.” [An-Nûr: 55]
Kesepuluh: darah dan harta pelaku kesyirikan adalah halal bila terjadi peperangan yang dipimpin oleh seorang pemerintah muslim. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهَ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوْا عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ
“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada yang berhak diibadahi, kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah, serta menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Apabila mereka telah melaksanakan hal itu, terjagalah darah dan harta mereka, kecuali dengan haqnya, dan perhitungan mereka adalah terhadap Allah.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari beberapa orang shahabat, tergolong sebagai hadits mutawâtir]
Kesebelas: syaithan berkuasa terhadap pelaku kesyirikan. Allah Jalla Sya`nuhu berfirman,
إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ
“Sesungguhnya kekuasaan (syaithan) itu hanyalah atas orang-orang yang menjadikan dia sebagai pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukan dia dengan Allah.” [An-Nahl: 100]
Kedua belas: syirik adalah sebab kehinaan dan kemurkaan Allah. Rabbul ‘Izzah menyatakan dalam Tanzîl-Nya,
إِنَّ الَّذِينَ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَذِلَّةٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُفْتَرِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya) kelak akan tertimpa kemurkaan dari Rabb mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami membalas orang-orang yang membuat-buat kebohongan.” [Al-A’râf: 152]
Ketiga belas: kesyirikan adalah sebab celaan dan hilangnya taufiq dari Allah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
لَا تَجْعَلْ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ فَتَقْعُدَ مَذْمُومًا مَخْذُولًا
“Janganlah engkau mengadakan sembahan lain di sisi Allah agar engkau tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (oleh Allah).” [Al-Isrâ`: 22]
وَلَا تَجْعَلْ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ فَتُلْقَى فِي جَهَنَّمَ مَلُومًا مَدْحُورًا
“Dan janganlah engkau mengadakan sembahan lain di sisi Allah yang mengakibatkan engkau dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan (dari rahmat Allah).” [Al-Isrâ`: 39]
Demikianlah beberapa bahaya kesyirikan. Walaupun banyak bahaya lain yang luput disebutkan di sini, kami berharap bahwa uraian ringkas di atas cukup sebagai pelajaran bagi seluruh kaum muslimin dan muslimat akan bahaya dan dosa kesyirikan di dunia dan di akhirat. Wallâhul Musta’ân.


[1] Adalah tergolong sebagai syirik akbar dan kekufuran nyata, menduakan Allah Yang Maha Satu dalam dzat-Nya bahwa Dia memiliki anak.

http://dzulqarnain.net/bahaya-dan-petaka-kesyirikan.html

Etika Syar’i bagi Perempuan dalam Hal Menuntut Ilmu



Sumber : http://dzulqarnain.net/etika-syari-bagi-perempuan-dalam-hal-menuntut-ilmu.html

Tidaklah diragukan bahwa perempuan sederajat dengan lelaki dalam hal kewajiban menjalankan perintah agama. Bahwa, kewajiban menjalankan perintah itu mencakup seluruh perintah agama, yakni memurnikan tauhid, shalat, zakat, haji, puasa, …, dan sebagainya.
Setiap muslim dan muslimah telah memaklumi bahwa perintah-perintah agama itu memiliki syarat-syarat, rukun-rukun, dan ketentuan-ketentuan yang harus terpenuhi guna keabsahan suatu ibadah atau memenuhi kesempurnaan ibadah. Sementara itu, tiada jalan untuk memahami dan menjalankan ibadah tersebut sesuai dengan tuntunannya yang benar, kecuali dengan cara menuntut ilmu agama.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim.”[1]
Ibnul Jauzy rahimahullah berkata, “Perempuan adalah seorang yang mukallaf seperti laki-laki. Oleh karena itu, dia wajib menuntut ilmu tentang perkara-perkara yang diwajibkan terhadapnya agar ia menunaikan ibadah tersebut di atas keyakinan.”[2]
Tercatat indah dalam sejarah, perihal semangat para shahabiyat radhiyallahu ‘anhunna dalam hal menuntut ilmu dan bertanya akan berbagai problematika yang tengah mereka hadapi tanpa terhalangi oleh rasa malu mereka. Hal tersebut menunjukkan kewajiban menuntut ilmu yang tertanam dalam jiwa-jiwa mereka yang terpuji. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
نِعْمَ النِّسَاءِ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ لَمْ يَكُنْ يَمْنَعُهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ
“Sebaik-baik perempuan adalah para perempuan Anshar. Tidaklah rasa malu menghalangi mereka untuk tafaqquh (memperdalam pemahaman) dalam agama.” [3]
Masih banyak lagi dalil yang menunjukkan kewajiban seorang perempuan untuk menuntut ilmu. Bahkan, seluruh dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah, yang menjelaskan tentang kewajiban dan keutamaan menuntut ilmu, juga merupakan dalil akan kewajiban perempuan dalam menuntut ilmu karena perintah pada dalil-dalil itu bersifat umum, mencakup seluruh umat: laki-laki dan perempuan.
Ketentuan Pembolehan Perempuan Keluar untuk Menuntut Ilmu
Menetapnya perempuan di rumah adalah suatu hal yang wajib berdasarkan dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى.
“Dan hendaklah kalian menetap di rumah kalian serta janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah dahulu.” [Al-Ahzab: 33]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian menahan kaum perempuan kalian dari masjid-masjid. Namun, rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka.” [4]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula,
إِنَّهُ قَدْ أُذِنَ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَاجَتِكُنَّ
“Sesungguhnya kalian telah diizinkan keluar untuk keperluan kalian.” [5]
Dalil-dalil di atas merupakan penjelasan bahwa hukum asal terhadap perempuan adalah menetap di rumahnya dan tidak boleh keluar dari rumahnya, kecuali untuk hal darurat atau keperluan yang dibenarkan oleh syariat.
Tentunya, keluar untuk menuntut ilmu adalah salah satu keperluan yang diizinkan oleh syariat, apalagi jika yang dia tuntut adalah ilmu yang berkaitan dengan pelaksanaan kewajibannya.
Banyak dalil yang menunjukkkan akan hal tersebut. Di antaranya adalah:
Hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwa beliau berkata,
جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحِي مِنْ الْحَقِّ فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ غُسْلٌ إِذَا احْتَلَمَتْ فَقَالَ نَعَمْ إِذَا رَأَتْ الْمَاءَ
“Ummu Sulaim mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidaklah malu terhadap kebenaran. Apakah perempuan wajib mandi bila ia mimpi basah?’ Beliau menjawab, Iya, bila melihat air.’.” [6]
Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa beliau berkata,
جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ فَقَالَ لَا إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي
“Fathimah bintu Abi Hubaisy mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, saya adalah perempuan yang sedang istihadhah dan tidak suci. Apakah saya (harus) meninggalkan shalat?’ Maka beliau menjawab, ‘Tidak karena sesungguhnya itu hanyalah sekedar urat, bukan haidh. Apabila (masa) haidhmu telah tiba, tinggalkanlah shalat, sedangkan apabila (masa haidhmu) telah berlalu, cucilah darah darimu kemudian kerjakanlah shalat.’.” [7]
Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata,
قَالَتْ النِّسَاءُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَلَبَنَا عَلَيْكَ الرِّجَالُ فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا لَقِيَهُنَّ فِيهِ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ
“Para perempuan berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kaum lelaki telah mengalahkan kami terhadapmu maka jadikanlah suatu hari (khusus) dari dirimu untuk kami.’ Maka, beliau menjanjikan mereka suatu hari untuk menemui mereka pada (hari) tersebut, lalu (beliau) menasihati mereka dan memerintah mereka.” [8]
Demikian beberapa dalil yang menunjukkan pembolehan seorang perempuan untuk keluar dalam rangka menuntut ilmu agama.
Namun, harus diketahui bahwa pembolehan kepada perempuan untuk keluar menuntut ilmu adalah dengan beberapa ketentuan dan etika, yang di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Orang Yang Mengajar Dia Tidak Terpenuhi dari Pihak Mahramnya
Jika orang yang mengajarkan ilmu kepadanya, guna mencukupi kebutuhan ilmu yang dia tuntut, telah terpenuhi dari pihak mahramnya -baik ayah, saudara, suami, anak, maupun yang semisalnya-, menetap di rumah adalah hal yang paling layak baginya berdasarkan dalil-dalil yang telah berlalu.
Ibnul Jauzy rahimahullah berkata, “Perempuan adalah seorang yang mukallaf seperti laki-laki. Oleh karena itu, dia wajib menuntut ilmu tentang perkara-perkara yang diwajibkan terhadapnya agar ia menunaikan ibadah tersebut di atas keyakinan. Apabila ia mempunyai ayah, saudara, suami, atau mahram yang bisa mengajarkan hal-hal yang diwajibkan dan menuntunkan cara menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut, hal itu telah mencukupinya. Bila tidak, dia bertanya dan belajar.”[9]
Merupakan catatan penting yang harus diingat, hajat perempuan untuk keluar menuntut ilmu bergantung kepada jenis ilmu yang dia akan pelajari. Demikianlah karena ilmu itu ada yang bersifat wajib ‘ain untuk dipelajari, bahwa, tatkala tidak mengetahui ilmu tersebut, seorang muslimah dianggap berdosa dan menelantarkan kewajibannya. Ada juga ilmu yang bersifat fardhu kifayah, bahwa kewajiban mempelajarinya menjadi gugur bila telah terdapat sekelompok manusia yang telah mencukupi kaum muslimin lain dalam mempelajarinya.
Adalah fardhu ‘ain terhadap seorang muslimah, mempelajari tentang cara memurnikan ibadah kepada Allah dan menauhidkan-Nya. Oleh karena itu, sangat wajar bila mempelajari dan meyakini tauhid rububiyah, uluhiyah, dan Al-Asma’ wa Ash-Shifat-Nya serta membersihkan diri dari segala noda kesyirikan dan penyimpangan adalah tugas pokok muslimah tersebut.
Seorang muslimah juga wajib memahami hukum-hukum seputar thaharah -tata cara berwudhu, mandi haidh dan junub, tayyammum, serta hukum-hukum haidh, istihadhah, dan nifas- sebagaimana juga wajib mendalami tuntunan shalat, zakat, haji, dan puasa yang benar.
Dia Juga wajib mempelajari hukum ihdad, batasan-batasan aurat, syarat-syarat keluar rumah, dan lain-lain.
Yang jelas, setiap perkara yang mesti diamalkan oleh seorang muslimah dalam menegakkan peribadahan kepada Rabb-nya merupakan suatu kewajiban untuk dipelajari dan didalami. Tentunya, tingkat kewajibannya berjenjang sesuai dengan jenis ibadah wajib yang mesti dia laksanakan.
2. Ada Keperluan yang Mendesak untuk Keluar
Yakni seperti bila seorang muslimah mengalami sebuah problematika yang harus dijawab dan dijelaskan secara syar’i, sedang tidak ada orang di antara mahramnya yang bisa menjelaskan atau mempertanyakan problematika tersebut kepada seorang alim yang terpercaya.
Pada masa ini, kita patut senantiasa bersyukur kepada Allah akan berbagai kemudahan dan fasilitas yang diberikan kepada kita sehingga, dengan sangat mudah, kita bisa mempertanyakan masalah-masalah yang kita hadapi kepada ahlul ‘ilmi dalam jangka waktu singkat, baik melalui media komunikasi, surat, dan media lain.
Tentunya, keterangan di atas dibangun di atas dalil-dalil yang telah berlalu.
3. Bertanya kepada Orang yang Tepat
Apabila, dari kalangan perempuan, terdapat orang yang berilmu dan bisa memberikan penjelasan kepada kita, maka tiada pilihan bagi kita untuk bertanya kepada kaum lelaki. Demikian pula, di antara orang-orang yang berilmu, dia memilih orang yang paling alim.
4. Sebatas Keperluan
Dalam posisi seorang muslimah bertanya lansung kepada seorang alim, bila sang alim telah menjawab atau telah menjelaskan keperluannya, dia tidak boleh memperbanyak pembicaraan dengan sang alim tersebut karena dikhawatirkan bila hal itu akan menimbulkan fitnah. Allah Ta’ala berfirman,
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا.
“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara, sehingga berkeinginanlah orang yang memiliki penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” [Al-Ahzab: 32]
5. Tidak Boleh Bercampur-Baur (Ikhtilath) dengan Guru atau Murid Lelaki yang Ada di Majelis
Hal tersebut berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
“Janganlah sekali-kali seorang lelaki berduaan dengan perempuan, kecuali bila ada mahram bersama (perempuan) itu.”[10]
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ
“Berhati-hati kalian terhadap menjumpai perempuan,”
maka seorang lelaki dari Al-Anshar berkata, “Bagaimana pendapat engkau tentang Al-Hamw[11]?” Beliau menjawab,
الْحَمْوُ الْمَوْتُ
Al-Hamw adalah maut.” [12]
 6. Bertanya Melalui Belakang Hijab serta Tidak Memandang Laki-Laki yang Bukan Mahramnya
Hal tersebut berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ.
“Apabila meminta suatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), mintalah dari belakang hijab.” [Al-Ahzab: 53]
Juga dalam firman-Nya,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ.
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya.” [An-Nur: 31]
Demikianlah beberapa etika dan adab dalam menuntut ilmu. Tentunya, bagi seorang muslimah ketika keluar dari rumahnya -guna menuntut ilmu atau selainnya- ada beberapa etika dan adab yang telah dimaklumi, seperti berhijab dengan hijab syar’i sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ.
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak padanya. Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” [An-Nur: 31]
Dia tidak boleh menampakkan keindahannya sebagaimana dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى.
“Dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah dahulu.” [Al-Ahzab: 33]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan di antara penduduk Neraka yang belum pernah saya lihat sebelumnya: (1) Kaum yang mempunyai cambuk-cambuk seperti ekor-ekor sapi yang digunakan untuk memukul manusia, serta (2) para perempuan yang berpakaian, tetapi telanjang, berjalan berlenggak-lenggok, yang kepala mereka seperti punuk unta. Mereka tidaklah masuk surga tidak pula menghirup bau (surga), padahal bau (surga) dapat dihirup dari jarak demikian dan demikian.” [13]
Dia tidak boleh keluar dari rumah dengan memakai wewangian sebagaimana dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِقَوْمٍ لِيَجِدُوا رِيحَهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
“Perempuan mana saja yang memakai wewangian lalu melewati suatu kaum sehingga mereka mencium bau (wewangian)nya maka ia adalah seorang pezina.” [14]
Beberapa Akhlak Terpuji bagi Seorang Penuntut Ilmu
Seorang penuntut ilmu hendaknya berhias dengan mahligai ketakwaan dalam zhahir dan batinnya serta mengikhlaskan niatnya karena Allah. Makna ikhlas yaitu engkau meniatkan upaya dan usahamu dalam menuntut ilmu guna mengangkat kejahilan dari dirimu dan guna memurnikan ibadah kepada Allah dengan cara yang benar. Allah Ta’ala berfirman,
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ.
“Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan ilmu kepada kalian. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [Al-Baqarah: 282]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Setiap amalan sesuai dengan niatnya, sedang setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan niatnya.”
Ibrahim An-Nakha’iy rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menuntut suatu ilmu dengan mengharap wajah Allah, Allah akan memberikan sesuatu yang mencukupinya.”[15]
Al-Hasan Al-Bashry rahimahullah berkata pula, “Barangsiapa yang menuntut suatu ilmu, lalu menghendaki apa-apa yang ada di sisi Allah, ia akan mendapatkan sesuatu tersebut -insya Allah-. Namun, barangsiapa yang menghendaki dunia melalui hal (menuntut ilmu) itu, -demi Allah- itulah bagiannya dari ilmu itu.”[16]
Hendaknya engkau memakmurkan zhahir dan bathinmu dengan rasa takut kepada Allah serta terus menerus merenungi kekuasaan dan kebesaran Allah. Ketahuilah bahwa ilmu itu bukanlah sekedar pengetahuan tanpa ada khasy-yah (rasa takut) kepada Allah.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ilmu itu bukanlah dengan banyak periwayatan, melainkan ilmu itu adalah Al-Khasy-yah.”[17]
Bahkan, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ.
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” [Fathir: 28]
Bersemangatlah kalian, wahai para penuntut ilmu, untuk beramal dengan ilmu yang telah engkau pelajari sebab ilmu itu dipelajari untuk diamalkan. Dengan mengamalkan ilmu itu, engkau akan mendapat tambahan anugerah ilmu serta berbagai keutamaan dan kebaikan. Allah ‘Azza wa Jalla telah menjanjikan sebagaimana dalam firman-Nya,
وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا. وَإِذًا لَآتَيْنَاهُمْ مِنْ لَدُنَّا أَجْرًا عَظِيمًا. وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا.
“Dan sesungguhnya, kalau mereka mengamalkan (ilmu) yang diberikan kepada mereka, tentulah hal itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (mereka). Apabila demikian, pasti Kami melimpahkan pahala yang besar kepada mereka dari sisi Kami, dan niscaya Kami memberi hidayah kepada mereka menuju jalan yang lurus.” [An-Nisa`: 66-68]
Berkomitmenlah kalian dalam menegakkan ibadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah-ibadah yang disunnahkan sebab itu adalah salah satu sifat orang yang faqih (paham agama). Al-Hasan Al-Bashry rahimahullah berkata, “Orang yang faqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia, mendalam ilmu agamanya, dan terus menerus berada di atas ibadah kepada Rabb-nya.”[18]
Peliharalah oleh kalian segala perintah dan ketentuan Allah pada diri kalian dan janganlah engkau menelantarkan perintah dan ketentuan tersebut. Ingatlah selalu wejangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ
“Jagalah (batasan-batasan) Allah, niscaya Allah akan senantiasa menjagamu. Jagalah (batasan-batasan) Allah, niscaya engkau akan mendapati Allah di hadapanmu.” [19]
Berhati-hatilah kalian, wahai saudari penuntut ilmu, terhadap sifat hasad sebab itu adalah penyakit yang telah banyak menghambat jalan para penuntut ilmu. Allah telah mengingatkan dalam firman-Nya,
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ.
“Ataukah mereka dengki terhadap manusia lantaran karunia yang telah Allah berikan kepadanya?” [An-Nisa`: 54]
Obatilah penyakit itu oleh kalian dengan selalu mengingat firman-Nya,
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ.
“Antara mereka, Kami telah menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka terhadap sebagian yang lain sebanyak beberapa derajat.” [Az-Zukhruf: 32]
Waspadalah kalian terhadap sikap bangga akan ilmu yang engkau dapatkan dan hindarkanlah dirimu terhadap sikap congkak. Allah Jalla Jalaluhu telah mengingatkan,
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ.
“Dan janganlah engkau memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah engkau berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [Luqman: 18]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat sikap sombong sebesar dzarrah.” [20]
Semoga Allah memudahkan segala jalan dalam menuntut ilmu serta membukakan pintu-pintu kebaikan dan rahmat untuk kita semua. Wallahu Ta’ala A’lam.


[1] Hadits hasan, diriwayatkan oleh sejumlah shahabat. Dishahihkan oleh Al-Albany -dalam Takhrij Musykilah Al-Faqr hal. 80- dan dihasankan oleh Syaikh Muqbil –sebagaimana yang kami dengar dari beliau-. As-Suyuthy mempunyai risalah tersendiri dalam mengumpulkan jalan-jalan periwayatan hadits ini.
[2] Ahkam An-Nisa` karya Ibnul Jauzy hal. 7.
[3] Dikeluarkan oleh Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah.
[4] Dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Al-Hakim, dan Al-Baihaqy dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Dishahihkan oleh Al-Albany dari seluruh jalannya dalam Irwa` Al-Ghalil 2/294 dan Ats-Tsamr Al-Mustathab 2/730.
[5] Dikeluarkan oleh Al-Bukhary dan Muslim.
[6] Dikeluarkan oleh Al-Bukhary, Muslim, At-Tirmidzy, An-Nasa`iy, dan Ibnu Majah.
[7] Dikeluarkan oleh Al-Bukhary, Muslim, At-Tirmidzy, An-Nasa`iy, dan Ibnu Majah.
[8] Dikeluarkan oleh Al-Bukhary, Muslim, dan An-Nasa`iy.
[9] Ahkam An-Nisa` karya Ibnul Jauzy hal. 7.
[10] Dikeluarkan oleh Al-Bukhary, Muslim, dan An-Nasa`iy.
[11] Yang dimaksud dengan Al-Hamw di sini adalah kerabat suami, seperti saudara, anak saudara, paman, anak paman, dan yang semisalnya. Demikian keterangan An-Nawawy dalam Al-Minhaj 7/161-162 (cet. Dar ‘Alam Al-Kutub).
[12] Dikeluarkan oleh Al-Bukhary, Muslim, At-Tirmidzy, dan An-Nasa`iy.
[13] Dikeluarkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[14] Dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzy, dan An-Nasa`iy dengan sanad yang shahih.
[15] Dikeluarkan oleh Ad-Darimy dengan sanad yang shahih.
[16] Dikeluarkan oleh Ad-Darimy dengan sanad yang shahih.
[17] Dikeluarkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dengan sanad yang shahih.
[18] Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dengan sanad yang hasan.
[19] Dikeluarkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzy dengan sanad yang hasan.
[20] Dikeluarkan oleh Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzy, dan Ibnu Majah.

http://dzulqarnain.net/etika-syari-bagi-perempuan-dalam-hal-menuntut-ilmu.html

Jumlah Umat Islam yang Masuk Surga Tanpa Hisab dan Tanpa Adzab



Sumber : http://dzulqarnain.net/jumlah-umat-islam-yang-masuk-surga-tanpa-hisab-dan-tanpa-adzab.html

Telah sah dan valid dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلانِ، وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ إِذْ رُفِعَ لِيْ سَوَادٌ عَظِيْمٌ فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِيْ، فَقِيْلَ لِيْ هَذَا مُوْسَى وَقَوْمُهُ، فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيْمٌ، فَقِيْلَ لِيْ هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُم سَبْعُوْنَ أَلْفَاً يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ.
“Umat-umat telah dipertunjukkan kepadaku. Aku melihat seorang nabi yang ada beberapa orang bersamanya, seorang nabi yang ada satu dan dua orang bersamanya, tetapi (ada pula) seorang nabi yang tidak seorang pun bersamanya. Tiba-tiba ditampakkan kepadaku, suatu jumlah yang banyak, maka aku pun mengira bahwa mereka adalah umatku, tetapi dikatakan kepadaku, ‘Itu adalah Musa bersama kaumnya.’ Lalu, tiba-tiba aku melihat lagi suatu jumlah yang besar pula maka dikatakan kepadaku, ‘Itu adalah umatmu, dan bersama mereka ada tujuh puluh orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab.’.”
Kemudian, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan sifat tujuh puluh ribu orang tersebut dengan sabdanya,
هُمْ الَّذِيْنَ لَا يَسْتَرِقُوْنَ وَلَا يَكْتَوُوْنَ وَلَا يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ.
“Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta untuk di-ruqyah, tidak meminta untuk di-kay, dan tidak melakukan tathayyur, tetapi mereka hanya bertawakkal kepada Rabb mereka.” [1]
Telah valid pula dalam riwayat-riwayat lain, penyebutan bahwa, pada setiap kelipatan seribu dari tujuh puluh ribu orang tersebut, Allah Ta’ala menambahkan tujuh puluh ribu lagi sehingga semuanya berjumlah empat juta sembilan ratus ribu.
Sebagian asatidzah yang mulia mempertanyakan keabsahan riwayat tambahan karena mendengar bahwa ada yang menganggap riwayat tersebut lemah.
Keabsahan tambahan yang ditanyakan tersebut adalah hal yang bisa dipastikan. Telah sah dari Nabi, sejumlah riwayat yang menerangkannya. Di antara riwayat tersebut adalah hadits Abu Umamah Al-Bahily radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَعَدَنِي رَبِّي سُبْحَانَهُ أَنْ يُدْخِلَ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعِينَ أَلْفًا، لَا حِسَابَ عَلَيْهِمْ، وَلَا عَذَابَ، مَعَ كُلِّ أَلْفٍ سَبْعُونَ أَلْفًا، وَثَلَاثُ حَثَيَاتٍ مِنْ حَثَيَاتِ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ
Rabb-ku Subhanahu menjanjikan kepadaku untuk memasukkan tujuh puluh ribu umatku ke dalam surga tanpa ada hisab dan adzab terhadap mereka, bersama dengan tujuh puluh ribu orang setiap seribu orang, dan tiga kali dari cidukan Rabb-ku ‘Azza wa Jalla.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 11/32 no. 32247 (cet. Maktabah Ar-Rusyd), Ahmad 5/268, At-Tirmidzy no. 2442, Ibnu Majah no. 4286, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 589, Ath-Thabarany dalam Musnad Asy-Syamiyyin 2/7-8 no. 820, Al-Mahamily dalam Al-Amaly (riwayat Ibnu Yahya Al-Bayyi’) no. 260, Ad-Daraquthny dalam Ash-Shifat no. 50-51, Mu`ammal bin Ahmad dalam Fawa`id-nya (Majmû Fihi Asyarah Ajza` Haditsiyyah) no. 44 hal. 341, Al-Baihaqy dalam Al-Asma` wa Ash-Shifat no. 723 dan Adz-Dzahaby dalam Siyar A’lam An-Nubala` 16/459-460. Semuanya dari jalur Ismail bin ‘Ayyasy, dari Muhammad bin Ziyad Al-Alhany, dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Riwayat Ismail bin ‘Ayyasy dalam jalur di atas adalah kuat karena beliau meriwayatkan dari guru yang senegeri dengan beliau. Riwayat beliau hanya dipermasalahkan bila meriwayatkan dari selain penduduk negerinya. Oleh karena itu, Adz-Dzahaby rahimahullah berkata, “Sanadnya jayyid (bagus).” Demikian pula penyebutan Ibnu Katsir dalam tafsir ayat ke-110 surah Ali ‘Imran.
Hadits di atas juga dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah no. 2179, bahwa beliau menyebutkan jalur-jalur lain dari Abu Umamah selain dari jalur yang disebutkan di atas. Beliau juga menyebut beberapa pendukung untuk hadits Abu Umamah dari beberapa orang shahabat lain.
Untuk riwayat-riwayat pendukung lainnya, bisa dilihat lebih luas dalam Ithaf Al-Hirah Al-Maharah Bi Zawa`id Al-Masanid Al-Asyarah 8/244-258 karya Al-Bûshiry. Wallahu A’lam.

Guna melengkapi faidah seputar keutamaan orang-orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab, berikut kami membawakan terjemahan dari keterangan guru kami, Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, dari kitab beliau, Al-Mulakhkhash Fi Syarh Kitab At-Tauhid.

عَنْ حُصَيْنِ بنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ : كُنْتُ عِنْدَ سَعِيدِ بنِ جُبَيْرٍ فَقَالَ : أَيُّكُمْ رَأَى الْكَوْكَبَ الَّذِيْ انْقَضَّ الْبَارِحَةَ؟ فَقُلْتُ : أَنا. ثُمَّ قُلْتُ : أَمَا إِنِّيْ لَمْ أَكُنْ فِيْ صَلَاةٍ وَلَكِنِّيْ لُدِغْتُ. قَالَ : فَمَا صَنَعْتَ؟ قُلْتُ: ارْتَقَيْتُ. قَالَ : فَمَا حَمَلَكَ عَلَى ذَلِكَ؟ قُلْتُ : حَدِيثٌ حَدَّثَنَاهُ الشَّعْبِيُّ. قَالَ: وَمَا حَدَّثَكُمْ؟ قُلْتُ: حَدَّثَنَا عَنْ بُرَيْدَةَ بنِ الْحُصَيْبِ أَنَّهُ قَالَ: لَا رُقْيَةَ إِلَّا مِنْ عَيْنٍ أَوْ حُمَةٍ. قَالَ: قَدْ أَحْسَنَ مَنْ اَنْتَهَى إِلَى مَا سَمِعَ. وَلَكِنْ حَدَّثَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلانِ، وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ إِذْ رُفِعَ لِيْ سَوَادٌ عَظِيْمٌ فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِيْ، فَقِيْلَ لِيْ هَذَا مُوْسَى وَقَوْمُهُ، فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيْمٌ، فَقِيْلَ لِيْ هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُم سَبْعُوْنَ أَلْفَاً يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ.
ثُمَّ نَهَضَ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ. فَخَاضَ النَّاسُ فِيْ أُوْلَئِكَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: فَلَعَلَّهُمُ الَّذِيْنَ صَحِبُوا رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَالَ بَعْضُهُم: فَلَعَلَّهُمُ الَّذِيْنَ وُلِدُوا فِي الْإِسْلَامِ فَلَمْ يُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئاً وَذَكَرُوا أَشْيَاءَ، فَخَرَجَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرُوْهُ فقَالَ: ( هُمْ الَّذِيْنَ لَا يَسْتَرِقُوْنَ وَلَا يَكْتَوُوْنَ وَلَا يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ. فَقَامَ عُكَّاشَةُ بنُ مِحْصَنٍ فَقَالَ: ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِيْ مِنْهُم، قَالَ: أَنْتَ مِنْهُم، ثُمَّ قَامَ رَجُلٌ آخَرَ فَقَالَ: ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِيْ مِنْهُم، فَقَالَ: سَبَقَكَ بِهَا عُكَّاشَةُ).
Dari Hushain bin Abdirrahman, beliau bertutur,
“Suatu ketika saya berada di sisi Sa’id bin Jubair, lalu ia bertanya, ‘Siapakah di antara kalian yang melihat bintang jatuh semalam?’
Saya pun menjawab, ‘Saya.’
Kemudian saya mengabarkan, ‘Ketahuilah bahwa, ketika itu, sesungguhnya saya tidak sedang mengerjakan shalat, tetapi saya disengat oleh kalajengking.’
Ia bertanya, ‘Lalu apa yang engkau lakukan?’
Saya menjawab, ‘Saya meminta untuk di-ruqyah.’
Ia bertanya lagi, ‘(Alasan) apa yang mendorongmu untuk melakukan hal itu?’
Saya menjawab, ‘Yaitu sebuah hadits yang Asy-Sya’by tuturkan kepada kami.’
Ia bertanya lagi, ‘Hadits apa yang dia tuturkan kepadamu?’
Saya menjawab, ‘Dia menuturkan kepada kami (hadits) dari Buraidah bin Al-Hushaib bahwa (Buraidah) berkata, ‘Tiada ruqyah, kecuali karena ‘ain atau sengatan.’.’
Ia berucap, ‘Sungguh telah berbuat baik, orang yang mengamalkan sesuatu yang telah dia dengar, tetapi Ibnu ‘Abbas menceritakan kepada kami, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa (Nabi) bersabda,
‘Umat-umat telah dipertunjukkan kepadaku. Aku melihat seorang nabi yang ada beberapa orang bersamanya, seorang nabi yang ada satu dan dua orang bersamanya, tetapi (ada pula) seorang nabi yang tidak seorang pun bersamanya. Tiba-tiba ditampakkan kepadaku, suatu jumlah yang banyak, maka aku pun mengira bahwa mereka adalah umatku, tetapi dikatakan kepadaku, ‘Itu adalah Musa bersama kaumnya.’ Lalu, tiba-tiba aku melihat lagi suatu jumlah yang besar pula maka dikatakan kepadaku, ‘Itu adalah umatmu, dan bersama mereka ada tujuh puluh orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab.’.’.’
(Ibnu ‘Abbas berkata), ‘Kemudian bangkitlah beliau dan segera memasuki rumahnya maka orang-orang pun memperbincangkan tentang mereka (tujuh puluh orang) itu. Di antara mereka ada yang berkata, ‘Mungkin mereka adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,’ ada yang berkata, ‘Mungkin mereka adalah orang-orang yang dilahirkan dalam keadaan Islam dan tidak berbuat syirik sedikitpun terhadap Allah,’ dan mereka menyebut lagi beberapa (kemungkinan). Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, mereka memberitahukan hal tersebut kepada beliau maka beliau bersabda,
‘Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta untuk di-ruqyah, tidak meminta untuk di-kay, dan tidak melakukan tathayyur, tetapi mereka hanya bertawakkal kepada Rabb mereka.’
Lalu berdirilah ‘Ukkasyah bin Mihshan seraya meminta, ‘Mohonkanlah kepada Allah agar saya termasuk ke dalam golongan mereka.’
Beliau menjawab, ‘Engkau termasuk ke dalam golongan mereka.’
Kemudian berdirilah seseorang yang lain seraya meminta, ‘Mohonkanlah kepada Allah agar saya termasuk ke dalam golongan mereka.’
Beliau menjawab, ‘‘Ukkasyah telah mendahuluimu.’.’.’.”[2]

Biografi Orang-Orang yang Tersebut di dalam Hadits
Hushain adalah Hushain bin Abdirrahman As-Sulamy Al-Haritsy, berasal dari kalangan tabiut tabiin. Beliau meninggal pada 136 H dalam usia 93 tahun.
Sa’id bin Jubair adalah Al-Imam Al-Faqih, salah seorang murid Ibnu ‘Abbas yang menonjol. Beliau dibunuh oleh Al-Hajjaj pada 95 H. Usia beliau tidak mencapai 50 tahun.
Asy-Sya’by adalah ‘Amir bin Syarahil Al-Hamdany. Beliau lahir pada masa khilafah Umar, meninggal pada 103 H. Beliau termasuk seorang tabi’in yang terpercaya.
Buraidah, dengan mendhammah huruf pertamanya dan memfathah huruf keduanya, adalah Ibnul Hushaib bin Al-Harits Al-Aslamy, seorang sahabat yang terkenal. Beliau meninggal pada 63 H.
Ibnu ‘Abbas adalah seorang sahabat yang mulia, Abdullah bin ‘Abbas bin Abdul Muththalib, anak paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi pernah mendoakan beliau dengan, “Ya Allah pahamkanlah ia tentang agamanya dan ajarkanlah ia tafsir.” Oleh karena itu, jadilah beliau sebagaimana doa Rasulullah. Beliau meninggal di Thaif pada 68 H.
‘Ukkasyah adalah ‘Ukkasyah[3] bin Mihshan bin Hurtsan Al-Asady, termasuk orang yang awal masuk Islam. Beliau ikut berhijrah dan perang Badr. Beliau mati syahid dalam peperangan menumpas orang-orang yang murtad bersama Khalid bin Walid pada 12 H.

الْكَوْكَبَ : bintang.
انْقَضَّ : yakni (jatuh), salah satu di antara panah api (bintang).
الْبارِحَةَ : malam terdekat yang telah lewat. Untuk mengungkapkannya (kata yang bermakna ‘tadi malam’ ada dua bahasa): jika diucapkan sebelum matahari gelincir pada siang hari, digunakan ra`aitu al-lailata. Adapun kalau diucapkan setelah matahari gelincir, digunakan ra`aitu al-barihata.
لُدِغْتُ ‘aku tersengat’: maksudnya adalah bahwa ia tersengat kalajengking. Al-ladaghu berarti terkena racun.
ارْتَقَيْتُ ‘aku meminta seseorang untuk me-ruqyah-ku’: ruqyah adalah membacakan Al-Qur`an dan doa-doa yang disyariatkan terhadap orang yang terkena penyakit atau yang semisalnya.
مَا حَمَلَكَ عَلَى ذَلِكَ ‘apa yang membawamu atas hal itu’: artinya adalah apa hujjahmu yang membolehkan perbuatan itu?
لَا رُقْيَةَ إِلَّا مِنْ عَيْنٍ ‘tiada ruqyah kecuali terhadap ‘ain’: ‘ain adalah seseorang menimpakan penyakit kepada orang lain dengan pandangan matanya.
أَوْ حُمَةٍ : Al-humah adalah racun kalajengking atau yang semisalnya.
اَنْتَهَى إِلَى مَا سَمِعَ : yaitu beramal berdasarkan ilmu yang sampai kepadanya. Hal ini berbeda dengan orang yang beramal di atas kebodohan atau orang yang tidak mengamalkan ilmunya.
عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ ‘umat-umat ditampakkan kepadaku’: ada yang mengatakan bahwa hal itu terjadi pada malam Isra`, yaitu tatkala Allah memperlihatkan gambaran umat-umat ketika hari kiamat datang.
الرَّهْطُ : sekelompok orang yang berjumlah kurang dari sepuluh.
لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ ‘tiada seorang pun yang bersamanya’: yaitu tidak ada seorang pun dari kaumnya yang mengikuti.
سَوادٌ عَظيمٌ : manusia yang berjumlah sangat banyak.
فَظَنَنْتُ أَنَّهُم أُمَّتِي ‘maka aku menduga bahwa mereka adalah umatku’: karena banyaknya dan jauhnya beliau dari mereka sehingga mereka tidak jelas bagi beliau.
مُوسَى : yaitu Musa bin ‘Imran Kalimurrahman ‘yang diajak bicara oleh Allah’.
وَقَوْمُهُ ‘dan kaumnya’: yaitu pengikutnya yang berada di atas agamanya dari kalangan Bani Israil.
بِلَا حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ ‘tanpa hisab dan tanpa adzab’: artinya mereka tidak dihisab dan tidak diadzab sebelum masuk surga karena mereka menahqiq tauhid dengan sebenar-benarnya.
ثُمَّ نَهَضَ : yaitu berdiri.
فَخاضَ النَّاسُ فِي أُولَئِكَ ‘maka manusia berbicara tentang mereka’: yaitu orang-orang yang hadir saling membahas dan berselisih tentang tujuh puluh orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab, dengan amalan apa mereka mendapatkan kedudukan seperti itu? Sebab mereka tidak mungkin mendapatkan hal itu, kecuali dengan amalan, maka apa amalannya?
فَأَخْبَرُوهُ ‘maka mereka mengabarkan kepadanya’: maksudnya bahwa mereka menyebutkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal perselisihan mereka tentang siapa yang dimaksud dengan tujuh puluh ribu orang tersebut?
لَا يَسْتَرْقونَ : tidak meminta kepada orang lain untuk me-ruqyah dirinya, sebagai bentuk ketidakperluan dia terhadap manusia.
وَلَا يَكْتَوونَ : tidak meminta kepada orang lain untuk di-kay dengan api.
وَلَا يَتَطَيَّرونَ ‘dan tidak ber-tathayyur’: yaitu tidak menganggap kesialan dengan burung atau yang sejenisnya.
عَلَى رَبِّهُم يَتَوَكّلُونَ ‘mereka bertawakkal kepada Rabb-nya’: yaitu mereka bersandar dalam segala urusan hanya kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya, serta menyerahkan semua perkara mereka kepada-Nya.
سَبَقَكَ بِها عُكَّاشَةُ ‘‘Ukkasyah telah mendahuluimu’: yaitu kepada kepemilikan sifat tersebut, atau engkau telah didahului oleh ‘Ukkasyah dalam meminta hal itu.

Makna Hadits Secara Global
Hushain bin ‘Abdurrahman menceritakan pembicaraan yang terjadi di majelis Sa’id bin Jubair berkenaan dengan jatuhnya bintang tadi malam. Maka, Hushain mengabarkan kepada mereka bahwa ia melihat jatuhnya bintang tersebut karena, pada waktu itu, ia dalam keadaan tidak tidur. Karena khawatir disangka oleh orang-orang yang hadir bahwa ia melihat bintang itu karena sedang shalat, ia berusaha menghilangkan sangkaan tersebut (beribadah dengan sesuatu yang tidak dia lakukan) seperti kebiasaan Salaf yang sangat bersemangat untuk ikhlas. Oleh karena itu, Hushain menyebutkan sebab sebenarnya yang membuat ia tidak tidur pada malam itu, yaitu karena terkena (sengatan kalajengking). Kemudian, pembicaraan berpindah kepada (usaha) yang ia lakukan untuk mengobati sengatan tersebut maka Hushain mengabarkan bahwa dirinya mengobati hal itu dengan ruqyah. Sa’id pun bertanya tentang dalil syar’i yang mendasari perbuatan itu maka, kepada (Sa’id), (Hushain) menyebutkan satu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang bolehnya ruqyah, dan Sa’id membenarkan Hushain yang telah beramal dengan dalil.
Selanjutnya, Sa’id menyebutkan keadaan yang lebih baik daripada (usaha)yang telah Hushain lakukan, yaitu meningkat ke arah kesempurnaan pelaksanaan tauhid dengan meninggalkan perkara-perkara makruh, meskipun seseorang memerlukan (perkara) tersebut, sebagai sikap tawakkal kepada Allah sebagaimana keadaan tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab, yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang meninggalkan ruqyah dan pengobatan dengan kay, sebagai realisasi tauhid, dengan mengambil sebab yang lebih kuat, yaitu bertawakkal kepada Allah dan tidak meminta untuk di-ruqyah atau lebih dari itu kepada seorang pun.

Faedah Hadits
  1. Keutamaan Salaf. Sesuatu yang mereka lihat, berupa tanda-tanda (kejadian) langit, tidak mereka anggap sebagai suatu kebiasaan, tetapi mereka pahami sebagai salah satu di antara ayat-ayat Allah.
  2. Semangat Salaf untuk ikhlas dan begitu kuatnya penjauhan diri mereka dari riya.
  3. Meminta hujjah atas kebenaran suatu pendapat, dan perhatian Salaf terhadap dalil.
  4. Disyariatkan untuk berdiri di atas dalil dan beramal dengan ilmu, serta bahwasanya orang yang beramal dengan dalil yang sampai kepadanya sungguh telah berlaku baik.
  5. Menyampaikan ilmu dengan lemah-lembut dan bijaksana.
  6. Pembolehan ruqyah.
  7. Membimbing orang, yang telah beramal dengan sesuatu yang disyariatkan, kepada sesuatu yang lebih utama daripada amalan tersebut.
  8. Keutamaan Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa seluruh umat ditampakkan kepada beliau.
  9. Bahwa jumlah pengikut para Nabi berbeda-beda.
  10. Bantahan terhadap orang-orang yang berhujjah dengan jumlah mayoritas, dan menyatakan bahwa kebenaran selalu terbatas pada pihak mereka.
  11. Bahwa yang wajib adalah mengikuti kebenaran, meskipun jumlah pengikut (kebenaran) itu sedikit.
  12. Keutamaan Musa q dan kaumnya.
  13. Keutamaan umat ini, bahwa mereka adalah umat terbanyak yang mengikuti Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  14. Menjelaskan keutamaan melaksanakan tauhid secara murni dan balasan terhadap pelaksanaan tersebut.
  15. Bolehnya munazharah dalam hal ilmu dan saling membahas nash-nash syariat guna mengambil faedah dan menampakkan kebenaran.
  16. Kedalaman ilmu Salaf, karena mereka mengetahui bahwa orang-orang yang disebutkan dalam hadits itu takkan mendapatkan kedudukan tersebut, kecuali dengan suatu amalan.
  17. Semangat para Salaf kepada kebaikan dan berlomba-lomba dalam amalan shalih.
  18. Bahwa meninggalkan ruqyah dan kay termasuk di antara realisasi tauhid.
  19. Bolehnya meminta doa dari orang yang memiliki keutamaan semasa hidupnya.
  20. Salah satu di antara tanda-tanda kenabian shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bahwa beliau mengabarkan bahwa ‘Ukkasyah termasuk ke dalam tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab, hingga kemudian ‘Ukkasyah radhiyallahu ‘anhu mati syahid dalam memerangi orang-orang murtad.
  21. Keutamaan ‘Ukkasyah bin Mihshan radhiyallahu ‘anhu.
  22. Penggunaan sindiran serta kebagusan akhlak beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau tidak mengatakan, “Engkau tidak termasuk ke dalam kelompok mereka,” kepada orang lain.
  23. Menutup peluang supaya orang yang tidak berhak (mendapatkan) tidak bangkit (meminta) lalu akhirnya ditolak. Wallahu A’lam.



[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhary, Muslim, At-Tirmidzy, Ahmad, Ad-Darimy, dan selainnya.
[2] Dikeluarkan oleh Al-Bukhary no. 3410, Muslim no. 220, At-Tirmidzy no. 2448, Ad-Darimy no. 2810, dan Ahmad 1/271.
[3] Boleh dengan mentasydid huruf kaf (‘Ukkasyah), boleh juga tanpa mentasydid (‘Ukasyah). Namun, dengan mentasydid adalah lebih masyhur. Bacalah Tahdzib Al-Asma` Wa Al-Lughat karya An-Nawawy.
http://dzulqarnain.net/jumlah-umat-islam-yang-masuk-surga-tanpa-hisab-dan-tanpa-adzab.html